waktu

Dulu Waktu Masih di Jogja Cerita yang Tak Pernah Pudar

Share this post on:

Ada satu kota yang tak sekadar menjadi tempat singgah.
Kota yang setiap sudutnya menyimpan kenangan, aroma, dan rasa yang tak bisa dilupakan.
Kota yang membuatmu rindu, bahkan saat baru saja meninggalkannya.
Kota itu bernama Yogyakarta — tempat di mana waktu berjalan pelan, tapi meninggalkan jejak begitu dalam.

Dulu, waktu masih di Jogja, pagi terasa lain.
Ada kesejukan yang menenangkan, suara becak yang pelan mengayuh, dan senyum ramah dari orang-orang yang bahkan tak kau kenal.
Langitnya selalu biru lembut, dan udara pagi dari arah utara membawa kabar dari Merapi — tegak, tenang, dan menjaga.

Setiap langkah di trotoar Malioboro adalah potongan cerita.
Kadang tentang tawa bersama teman di bangku panjang depan toko batik,
kadang tentang rindu yang tak sempat diucapkan saat melangkah di antara lampu jalan yang temaram.
Suara gesekan sandal, denting gamelan dari kejauhan, dan aroma sate yang terbakar di ujung jalan — semuanya seperti melodi yang hanya dimengerti oleh hati yang pernah tinggal di sana.

Jogja dan Kesederhanaan yang Menghangatkan

Jogja tak pernah mencoba untuk megah. Ia hanya menjadi dirinya sendiri — sederhana, hangat, apa adanya.
Mungkin itulah sebabnya banyak orang jatuh cinta padanya, bukan karena kemewahannya, tapi karena kejujurannya.

Baca Juga: alasan kenapa orang kangen sama jogja

Di warung sederhana pinggir jalan, di bawah lampu kuning yang remang,
kau duduk menikmati sepiring nasi kucing dan segelas kopi panas.
Sambil tertawa bersama teman-teman seperantauan, seakan dunia hanya seluas meja kayu itu.
Angkringan menjadi saksi banyak hal — dari canda ringan sampai percakapan serius tentang masa depan yang belum pasti.
Di sanalah, Jogja mengajarkanmu bahwa bahagia itu sederhana: asal ada teman, cerita, dan sedikit kehangatan.

Kenangan yang Tersisa di Setiap Sudut

Kalau kau sempat tinggal di Jogja, pasti kau tahu —
setiap sudutnya punya cerita.
Ada jalan kecil yang hanya kau dan temanmu tahu, tempat biasa nongkrong tiap sore.
Ada penjual es degan di dekat kampus yang hafal pesananmu tanpa perlu ditanya.
Ada tukang parkir yang selalu menyapa dengan senyum, bahkan saat hujan turun pelan-pelan.

Jogja mengikatmu bukan dengan janji, tapi dengan kenangan yang perlahan tumbuh tanpa kau sadari.
Dan ketika waktu memaksamu pergi, barulah kau tahu: separuh dari hatimu tertinggal di sana.
Jogja tidak mengejarmu, tapi selalu memanggilmu pelan — lewat suara kereta malam, lewat aroma gudeg yang tiba-tiba teringat, lewat lagu-lagu lama yang dulu sering kau dengar di kos.

Kerinduan yang Tak Pernah Usai

Rasanya aneh, ya?
Kau sudah pergi jauh, tapi Jogja tetap terasa dekat.
Kadang lewat foto-foto lama di galeri ponsel, kadang lewat kabar teman yang masih di sana.
Setiap kali mendengar kata “Jogja”, ada sesuatu yang bergetar di dada — bukan sekadar rindu, tapi seperti pulang sebentar, meski hanya lewat ingatan.

Kau mungkin sudah punya kehidupan baru: pekerjaan, keluarga, tanggung jawab.
Tapi begitu mendengar nama-nama seperti Kaliurang, Tugu, atau Lempuyangan — semuanya kembali hidup.
Seolah waktu mundur, dan kau kembali menjadi diri yang dulu: muda, bersemangat, dan penuh mimpi.
Jogja memang seperti itu — tak pernah benar-benar pergi, hanya berdiam di dalam hati, menunggu untuk dikenang.

Jogja Mengajarkan Arti Pulang

Jogja bukan sekadar tempat untuk tinggal. Ia adalah tempat untuk belajar tentang hidup, kehilangan, dan makna pulang.
Ia mengajarkan bahwa rumah tidak selalu berarti bangunan, tapi perasaan yang membuatmu tenang.
Dan bagi banyak orang, termasuk mungkin dirimu, Jogja adalah rumah itu.

Ketika dunia terasa terlalu cepat, ingatlah Jogja.
Ingat langit senjanya yang berwarna oranye keemasan,
ingat alunan musik jalanan yang lembut menemani langkahmu pulang ke kos,
ingat suara azan magrib yang menggema di antara gang sempit.
Itu semua bukan sekadar memori — itu adalah bagian dari dirimu yang tak akan pernah hilang.

Mungkin kau tak lagi di sana, tapi Jogja selalu menunggumu, dalam diam yang hangat.
Dan saat suatu hari nanti kau kembali, mungkin kau akan sadar…
bahwa sebenarnya, Jogja tak pernah berubah.
Yang berubah hanyalah dirimu — dan rasa rindumu yang semakin dalam.

Jogja bukan sekadar kota. Ia adalah kenangan yang hidup.
Dan bagi hati yang pernah tinggal di sana,
rindu pada Jogja… adalah rindu pada rumah yang tak pernah benar-benar pergi.

Share this post on:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page